Sesuai ajaran Islam, makanan ini hukumnya haram, seperti makanan yang berasal dari hasil judi, curian, dan hasil korupsi, riba (bunga), penipuan, atau cara-cara batil (tidak sah) lainnya.Hukum haram pada makanan ini bukanlah karena zat atau bahan makanannya itu sendiri (misalnya, nasi atau ayamnya), melainkan karena cara memperolehnya yang dilarang oleh syariat Islam. Ini adalah konsep penting yang menunjukkan bahwa kehalalan dalam Islam tidak hanya menyangkut produk akhir, tetapi juga keseluruhan prosesnya.PembahasanPrinsip dasar dalam fikih (hukum Islam) membedakan dua jenis keharaman: haram li-dzatihi dan haram li-ghairihi. Haram li-dzatihi adalah sesuatu yang haram karena zatnya sendiri, seperti daging babi, bangkai, darah, dan khamr (minuman keras). Sementara itu, haram li-ghairihi adalah sesuatu yang pada dasarnya halal, namun menjadi haram karena faktor eksternal yang terkait dengannya. Makanan yang dibeli dari hasil judi atau curian masuk dalam kategori kedua ini; ayam goreng itu sendiri halal, tetapi karena uang untuk membelinya berasal dari sumber yang haram, maka mengonsumsi ayam goreng tersebut menjadi haram.Sumber perolehan yang tidak sah menjadi faktor penentu keharaman dalam kasus ini. Islam sangat menekankan pentingnya mencari rezeki dengan cara yang baik dan sah. Sumber-sumber seperti judi, mencuri, korupsi, riba, dan penipuan dianggap sebagai cara mengambil harta orang lain secara tidak adil dan menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap harta yang berasal dari sumber-sumber ini dianggap kotor dan tidak berkah. Menggunakannya untuk membeli makanan—yang merupakan sumber energi untuk tubuh dan ibadah—dianggap menodai diri dengan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.Dampak mengonsumsi makanan yang berasal dari sumber haram sangatlah besar menurut ajaran Islam, terutama dari sisi spiritual. Dalam sebuah hadis yang masyhur, disebutkan bahwa doa seorang musafir yang telah menempuh perjalanan jauh tidak akan terkabul karena makanan, minuman, dan pakaiannya berasal dari yang haram. Hal ini mengindikasikan bahwa mengonsumsi harta haram dapat menjadi penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya. Selain itu, diyakini bahwa daging yang tumbuh di tubuh seseorang dari sumber yang haram akan lebih dekat dengan api neraka, sebagai peringatan keras akan pentingnya menjaga kehalalan rezeki.Thayyib adalah konsep lain yang berkaitan erat. Al-Qur'an seringkali menyandingkan kata halal dengan thayyib (baik), seperti dalam firman-Nya, "Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik (thayyiban)." (QS. Al-Baqarah: 168). Kata thayyib tidak hanya berarti baik dari segi nutrisi dan kebersihan, tetapi juga baik dari segi cara perolehannya. Makanan yang dibeli dari hasil korupsi, meskipun secara fisik terlihat lezat dan bersih, tidak dapat dikatakan thayyib karena proses untuk mendapatkannya penuh dengan kezaliman dan ketidakjujuran. Dengan demikian, makanan tersebut kehilangan aspek kebaikan yang disyaratkan oleh Islam.Kesimpulan dari ajaran ini adalah bahwa Islam memandang kehidupan sebagai sebuah sistem yang holistik dan terintegrasi. Kebersihan dan kesucian tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga moral dan spiritual. Larangan mengonsumsi makanan dari hasil yang haram mengajarkan umat Muslim untuk memiliki integritas penuh dalam mencari nafkah. Hal ini memastikan bahwa energi yang masuk ke dalam tubuh untuk beribadah dan beraktivitas berasal dari sumber yang bersih dan diberkahi, sehingga membentuk pribadi yang tidak hanya sehat secara jasmani, tetapi juga suci secara rohani dan bertanggung jawab secara sosial.