for example,area = a, length = l, width = w First we write two equations. The easier equation is the area equation, which we know to be a = l x w So that the first equation is : 96 = l x w
we make the second equation of the following statements : The length of a rectangle is 2 foot less than 3 times its width. so it becomes : l = 3w - 2 To solve, we can use the substitution method. 96 = l × w 96 = ( 3 w − 2 ) × w 96 = 3 w 2 − 2 w 3 w 2 − 2 w − 96 = 0 [ n o w f a c t or t h e e q u a t i o n ] ( 3 w + 16 ) ( w − 6 ) = 0
3 w + 16 = 0 3 w = − 16 w = − 3 16 ⇒ an s w er d oes n t mak e se n se , n e g a t i v e w i d t h .
w − 6 = 0 w = 6 ⇒ p os i t i v e an s w er f or w i d t h mak es se n se
*So if our width is 6, Now substitute the value of w = 6 into equation 2 *
l = 3 w − 2 l = 3 ( 6 ) − 2 l = 18 − 2 l = 16
So "w" = 6 and "l" = 16, and if we multiply them together, we get the correct area, 96. So our dimensions are 6 by 16.
The dimensions of the rectangle are a width of 6 feet and a length of 16 feet. This was determined by solving the equations for area and the relationship between length and width. The calculated area confirms that these dimensions are correct.
;
Guru Favoritku: Pak WijoyoDi antara deretan pengajar yang pernah mendidikku, ada satu nama yang terpatri paling dalam di ingatan: Pak Wijoyo. Beliau bukan sekadar guru, melainkan seorang seniman yang panggungnya adalah ruang kelas dan materi ajarnya adalah Fisika, mata pelajaran yang bagi sebagian besar dari kami adalah monster yang paling ditakuti. Namun di tangan Pak Wijoyo, monster itu berubah menjadi sebuah petualangan yang menakjubkan. Perawakannya sederhana; seorang pria berusia akhir empat puluhan dengan rambut yang mulai memutih di bagian pelipis dan kacamata berbingkai tebal yang selalu melorot ke ujung hidungnya. Kemeja batiknya yang sedikit kebesaran dan senyumnya yang tidak lebar namun selalu tulus, memancarkan aura kebapakan yang menenangkan.Suasana di dalam kelas Fisika Pak Wijoyo tidak pernah menegangkan. Suaranya yang tenang dan dalam mampu mengubah rumus-rumus rumit di papan tulis menjadi sebuah cerita yang hidup. Beliau tidak pernah hanya menyuruh kami menghafal. Sebaliknya, beliau akan membawa benda-benda sederhana dari kehidupan sehari-hari—sebuah gasing untuk menjelaskan momentum, atau segelas air dan senter untuk menunjukkan pembiasan cahaya. "Fisika itu bukan sekadar angka dan hukum, anak-anak," ujarnya pada suatu hari sambil mendorong kacamatanya yang melorot, "tapi ini adalah cara Tuhan melukis alam semesta. Tugas kita adalah belajar membaca lukisan-Nya." Kalimat itu, bagi kami, mengubah Fisika dari sekadar mata pelajaran menjadi sebuah cara pandang.Daya tarik utama Pak Wijoyo bukan hanya terletak pada cara mengajarnya, tetapi pada cara beliau memandang kami, murid-muridnya. Di matanya, tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah murid yang belum menemukan cara belajar yang tepat untuknya. Beliau tidak pernah ragu untuk tinggal lebih lama setelah bel pulang berbunyi, hanya untuk menjelaskan kembali konsep termodinamika kepada satu atau dua murid yang masih kebingungan. Beliau hafal nama kami semua, bukan hanya nama, tapi juga di mana letak kesulitan kami masing-masing. Sikapnya yang sabar dan penuh penghargaan membuat kami tidak pernah takut untuk bertanya atau mengakui bahwa kami tidak mengerti.Bagi saya, Pak Wijoyo lebih dari seorang guru Fisika. Beliau adalah guru kehidupan. Beliau mengajarkan bahwa hal yang paling rumit sekalipun dapat dipahami jika kita melihatnya dari sudut pandang yang tepat. Beliau membuktikan bahwa kesabaran dan empati adalah alat pengajaran yang paling ampuh. Kini, bertahun-tahun setelah lulus, nilai Fisika saya mungkin sudah terlupakan, tetapi pelajaran dari Pak Wijoyo tentang cara berpikir kritis, rasa ingin tahu, dan melihat keindahan dalam kerumitan akan selalu saya bawa selamanya. Beliau adalah guru favoritku, seorang seniman yang melukiskan inspirasi di kanvas pikiran kami.